6
Kesal, marah (tapi gak tau mau marah sama siapa), sedih, putus asa bercampur aduk jadi satu di dalam dadaku. Kenapa bayi tabung kedua kami gagal lagi? Padahal semua nasihat dokter sudah kami turuti, istri sudah bersih dari endometriosis, sel sperma baik, kami hidup sehat, olahraga cukup, lalu apa? Kenapa embrio kami gak ada satu pun yang bagus? Kali ini grade embrio-nya malah lebih parah dari bayi tabung pertama. Moderate-nya cuma satu, yang lain poor.
Saya males kerja. Saya males ditegur orang, termasuk ditegur istri. Bukan marah sama istri, tapi rasa kecewa yang besar membuat mulut saya terkunci rapat, padahal saya termasuk orang yang talkative dan senang membuat orang tertawa. Kali ini, jangankan tertawa, ketemu orang aja malesnya bukan main.
Program bayi tabung ini terkenal dengan biayanya yang mahal. Di dalam pikiran saya, kalo kita udah bayar mahal, bukannya udah terjamin keberhasilannya?
Wait, guys, sadarilah kalo program bayi tabung ini bukan kayak beli barang kesukaan kalian yang udah pasti dapet barangnya kalo udah dibayar. Sebagai suami, kita jangan hanya bisa membayar di kasir lalu pulang. Sebelum melakukan program bayi tabung, bacalah informasi dari buku, internet dan orang-orang yang sudah pernah melakukannya. Semakin kamu banyak membaca, maka kemungkinan JIKA hasil program kalian gagal seperti kita, kalian tidak terlalu jatuh dalam kesedihan. Cari tau, googling dan tanya ke dokter jika belum paham. Suami juga harus aktif mencari informasi sebanyak mungkin. Jangan : “Ah, terserah kamu aja deh, saya tugasnya cuma cari duit untuk bayar dokter”. Itu menurut saya, jika hasilnya gagal, maka kamu akan jauh jatuh dalam kesedihan dibandingkan istrimu. Pahami baik-baik kalo program bayi tabung ini juga kemungkinan hamilnya tidak tinggi. Masih besaaaaar kemungkinan gagalnya.
Saya sharing pengalaman ini agar dibaca para suami supaya jangan berpikiran salah seperti saya yang menganggap program bayi tabung ini seperti membeli barang. You pay, you get the baby. Padahal saya orang medis dan teori pembuahan manusia udah hafal luar kepala, tapi tetap saja baby hunger yang saya alami menutup pikiran saya.
Tak lama saya menyadari kalo berdiam diri di depan laptop doing nothing setiap hari itu salah. Kenapa saya tidak memeluk istri saya sambil berkata semua akan baik-baik saja? Saya malu pada diri sendiri. Betapa egoisnya saya. Bukankah istri saya juga sedang bersedih? Kenapa dia lebih tegar dari saya? Buru-buru saya minta maaf ke istri saya dan memberikan pengertian kalo rasa kecewa ini yang membuat mood saya berubah, bukan karena menyesali perkawinan. Syukurlah istri saya mengerti.
Satu tahun berlalu. Bayi tabung ketiga? Hmmm… Kita berdua masih trauma, masih takut kalo embrio kita hasilnya mirip dengan program pertama dan kedua. Tapi saya memberikan semangat ke istri saya supaya kita harus terus berjuang untuk mendapatkan anak. Pantang menyerah! Clock’s ticking. Semakin tinggi usia maka kemungkinan hamil akan semakin menurun persentasenya.
Tahun 2012 kita memberanikan diri untuk melakukan bayi tabung ketiga di klinik yang sama dengan program pertama dan kedua, hanya dokternya yang berbeda. Saat itu usia istri 32 tahun dan saya 37 tahun.
Hasil embrio program bayi tabung ketiga pun tiba. Berbeda dengan program pertama dan kedua yang masih mempunyai grade moderate.
Kali ini kesepuluh embrio gradingnya poor semua.
You must be logged in to post a comment.