Di luar dugaan

13

 

Serasa sedang bermimpi, setelah dua hari kami berdoa mengharapkan ridho-Nya, kami mendengarkan langsung dari embriologis bahwa dua embrio kami mempunyai kualitas excellent dan expanded blastocyst/excellent. Sementara embrio lain berubah menjadi poor.

“Selamat ya, kedua embrio kalian ini kualitasnya sangat bagus. Hari ini juga kita transfer ke rahim mamanya” kata si dokter ditemani embriologis.

Dengkul saya lemas. Ya Tuhan, inikah saatnya? Namun angan-angan itu segera saya tepis. Gak berani lagi berkhayal. Takut sedih lagi, takut depresi lagi.

“Oh ya, berhubung embrionya cuma dua yang layak ditransfer, yang lain gak usah ya. Poor juga tidak layak untuk dibekukan.”

Saya mengangguk dan segera menemani istri ke kamar tindakan untuk embrio transfer.

Masih ingat saat dokter memasukkan kedua embrio kami, ia mengatakan, “Insya Allah, kali ini giliran kalian, ya, jadi orang tua”

 

Amin! Amin ya rabb!

 

 

 

Poor? Moderate? Good? Excellent?

12

 

Tibalah giliran kita yang dipanggil embriologis untuk masuk ke ruangannya. Ini adalah hal yang bikin deg-degan selama 3 hari menunggu hasil kualitas embrio sejak 10 sel telur istri dipertemukan dengan sel sperma saya selama 3 hari.

“Yak, dari 10 embrio, ada 2 moderate, 1 good dan 1 excellent.”

Mata saya terbelalak tak percaya, “Satu good dan satu excellent?”

“Iya, dan menurut dokter, bagaimana jika embrio ini ditunggu sampai hari kelima agar kemungkinan menempel di rahim menjadi lebih tinggi?”

Saat konsul dengan dokter memang kami disarankan untuk menunggu sampai hari kelima. Embrio hari ketiga adalah prosedur umum IVF , embrio ini akan dimasukkan ke rahim. Namun jika embrio yang 1 good dan 1 excellent ini berubah menjadi poor di hari kelima, maka ya sudah, gagal lagi IVF-nya.

“Gimana? Kita tunggu sampai blastocyst?” tanya dokternya yang tiba-tiba masuk ke ruangan embriologis.

Saya dan istri berpandangan dan kita mengangguk.

“Baiklah, datang kemari 2 hari lagi untuk embrio transfer. Dua hari ini kita lihat perkembangan embrionya. Jika berubah menjadi poor, ya sudah gapapa ya” kata dokternya menekankan.

 

Ya Tuhan, deg-degan kami ditambah 2 hari lagi.

 

 

 

 

 

Kembali ke dokter pertama

11

 

Waktu di Singapore, kita konsultasi ke NUH atas rekomendasi teman baik.  Jujur saya kurang sreg sama dokternya yang kurang komunikatif dan terburu-buru. Saat saya menanyakan adakah teknik lain selain ICSI yang sudah kita pakai 3x namun gagal? Dokternya mengatakan ‘hanya itu saja’.  Mendengarnya, saya dan istri langsung mundur, apalagi biayanya 3x lebih mahal ketimbang Jakarta DENGAN teknik yang sama. Saya pikir lebih baik kita kembali ke dokter yang lama. Tak baik juga doctor shopping. Berganti-ganti dokter dan pemeriksaan diulang dari awal lagi padahal dokter yang terakhir ditemui aja belum tuntas meriksanya.

Sebulan setelah kepulangan dari Singapore, kami menemui dokter yang pertama kali melakukan IVF dan laparoskopi. Saya yang masih penasaran menanyakan teknologi IMSI yang diinformasikan keluarga pasien saya, yang tidak saya temukan di Singapore.

“Ya, ada. Oh iya, kalian belum pernah coba, ya? Ayolah yang keempat ini kita coba saja dan obatnya kita ganti yang baru semua, yang belum pernah dipakai.”

Kita langsung mengiyakan walau biaya lebih mahal 25% dibanding IVF pertama, kedua, ketiga. Namun kami tak peduli. Tabungan habis ya habis deh, nanti cari lagi.

Setelah mengikuti prosedur persiapan pematangan sel telur yang sama (namun dengan obat yang berbeda) , ovum pick-up & pembuahan di luar rahim, tibalah saat yang dinanti-nantikan : Melihat kualitas embrio.

 

 

 

 

 

Wake up call!

10

 

Masih ingat waktu itu bulan Februari 2015. Seorang keluarga pasien mengantarkan ibunya yang sedang berobat dengan saya.  Ia bertanya, “Anaknya sudah berapa, Dok?” , Oooh, pertanyaan ini lagi. Rasanya males banget menjawabnya. “Belum punya anak” jawab saya malas. “Oh, sudah berapa lama menikah?” tanyanya lagi. “Delapan tahun” jawab saya lagi. Kali ini sambil (terpaksa) tersenyum. “Wah, saya juga lima tahun berobat, ini baru dapet, dok.” katanya lagi sambil menggoyangkan bayi yang sedang digendongnya.

“Oh ya? Berobat di mana?” tanya saya setengah penasaran.

“Kita program bayi tabung di Bunda Morula, dok”

Mendengarnya, mendadak saya tidak penasaran lagi. Buat apa lagi, toh di klinik itu kita tiga kali gagal bayi tabung.

“Oooh, saya juga udah tiga kali gagal di sana” jawab saya dingin.

“Tahun berapa? Ini ada metode baru lagi deh. Coba dokter ke sana”

Seketika itu rasa penasaran saya timbul lagi. Metode apa, ya? Hmmm. Seingat saya, metode yang kita pakai adalah ICSI, yakni pemecahan dinding sel telur istri agar sel sperma bisa masuk.

Saya lalu menyampaikan terima kasih atas informasinya. Namun metode baru ini membuat saya benar-benar penasaran.

 

Sampai di rumah, saya menceritakan hal ini ke istri. Ia pun setuju kalo kita mulai berobat lagi sambil mencari tau metode baru ini.

“Ke mana? Ke klinik itu lagi?” tanyanya.

Gue berpikir sebentar dan menjawab, “Hmmmmm… atau kita coba tanya-tanya ke Singapore dulu.”

 

Yup. Bulan depannya kami ke Singapore dengan harapan teknologi di sana mungkin saja lebih canggih.

 

Ternyata nggak, tuh.

 

 

 

 

 

 

 

Libur berobat

9

 

Semua pasangan yang sedang berjuang mendapatkan momongan pasti pernah masuk ke fase ini. Kami pun udah beberapa kali masuk ke sini, namun baru ini yang paling lama. 2012-2015.

Saat saya sekolah di Jepang setahun, walau istri saya ikut beberapa bulan, tapi kami tak mencari dokter di sana berhubung mahalnya luar biasa. Kami pun gak punya asuransi kesehatan di sana dan waktu saya tersita untuk sekolah.

Anyway, hari-hari kami jalani dengan santai, apalagi Jepang adalah negara yang aman sehingga istri saya bebas rileks ke mana saja. Harapan selagi di sana, kami dapat berita gembira. Ternyata tidak. Sampai kita pulang di akhir 2013, istri toh tidak kunjung hamil. Ya sudahlah. Nanti dulu berobatnya. Libur dulu.

 

Saran : Kalo lagi ada rezeki, sebaiknya liburan berobatnya jangan kelamaan. Ingat umur.  🙂

 

 

 

 

Saya tidak depresi

7

 

Third time’s a charm? I guess not. Herannya kegagalan bayi tabung ketiga tidak membuat saya depresi. Sedih iya, tapi sehari saja. Besoknya saya dan istri udah tertawa sambil bercanda, “Emang kayaknya kita belum layak jadi orang tua, ya.” Disambut dengan ketawa istri sambil menggelengkan kepalanya.

Saya juga heran, kenapa kita sudah tidak bersedih lagi? Bukannya seharusnya kegagalan ketiga membuat kita lebih sedih? Apakah kita sudah sampai ke titik pasrah?

Mungkin jawabannya adalah saya sudah lebih banyak membaca informasi tentang bayi tabung dan lebih detail, termasuk menyusup ke forum-forum “Bun Bun”. Kalo di instagram/online shop: “sis”, kalo di forum2 program hamil: “bun”. Saya jadi lebih banyak tau dan persiapan di program ketiga ini. Ya ya, saya juga heran kenapa saya tidak membaca informasi IVF sebanyak ini saat program 1 &2. Mungkin saat itu saya over-pede.

Makanya, saran dari saya, jika kalian sudah ingin mengikuti program IVF, maka ada baiknya jika kalian :

  1. Cari informasi sebanyak-banyaknya, lalu tanyakan ke dokter informasi yang sudah didapat.
  2. Jangan berekspektasi terlalu tinggi. Biasa aja. Tanamkan dalam pikiran kalo keberhasilan IVF itu gak setinggi yang kamu pikirkan.
  3. Jangan terlalu membebani istri, for examples :”Ini yang terakhir, ya!” atau “Kalo gak berhasil, aku gak mau lagi!”  Guys, istri kamu yang akan minum obat, istri kamu yang akan disuntik setiap malam dalam beberapa hari. Bukan kamu. So stop being such a jerk. Jangan membebani istri. Buat mereka tenang.

 

Lalu, setelah gagal lagi, ngapain sekarang?

Tahun 2012 kita tutup dengan cuti berobat untuk sementara waktu dan saya berangkat ke Jepang untuk sekolah selama setahun.

 

 

 

Saya depresi

6

 

Kesal, marah (tapi gak tau mau marah sama siapa), sedih, putus asa bercampur aduk jadi satu di dalam dadaku.  Kenapa bayi tabung kedua kami gagal lagi? Padahal semua nasihat dokter sudah kami turuti, istri sudah bersih dari endometriosis, sel sperma baik, kami hidup sehat, olahraga cukup, lalu apa? Kenapa embrio kami gak ada satu pun yang bagus? Kali ini grade embrio-nya malah lebih parah dari bayi tabung pertama. Moderate-nya cuma satu, yang lain poor.

Saya males kerja. Saya males ditegur orang, termasuk ditegur istri. Bukan marah sama istri, tapi rasa kecewa yang besar membuat mulut saya terkunci rapat, padahal saya termasuk orang yang talkative dan senang membuat orang tertawa. Kali ini, jangankan tertawa, ketemu orang aja malesnya bukan main.

Program bayi tabung ini terkenal dengan biayanya yang mahal. Di dalam pikiran saya, kalo kita udah bayar mahal, bukannya udah terjamin keberhasilannya?

Wait, guys, sadarilah kalo program bayi tabung ini bukan kayak beli barang kesukaan kalian yang udah pasti dapet barangnya kalo udah dibayar. Sebagai suami, kita jangan hanya bisa membayar di kasir lalu pulang. Sebelum melakukan program bayi tabung, bacalah informasi dari buku, internet dan orang-orang yang sudah pernah melakukannya. Semakin kamu banyak membaca, maka kemungkinan JIKA hasil program kalian gagal seperti kita, kalian tidak terlalu jatuh dalam kesedihan. Cari tau, googling dan tanya ke dokter jika belum paham. Suami juga harus aktif mencari informasi sebanyak mungkin. Jangan : “Ah, terserah kamu aja deh, saya tugasnya cuma cari duit untuk bayar dokter”.  Itu menurut saya, jika hasilnya gagal, maka kamu akan jauh jatuh dalam kesedihan dibandingkan istrimu. Pahami baik-baik kalo program bayi tabung ini juga kemungkinan hamilnya tidak tinggi. Masih besaaaaar kemungkinan gagalnya.

Saya sharing pengalaman ini agar dibaca para suami supaya jangan berpikiran salah seperti saya yang menganggap program bayi tabung ini seperti membeli barang. You pay, you get the baby. Padahal saya orang medis dan teori pembuahan manusia udah hafal luar kepala, tapi tetap saja baby hunger yang saya alami menutup pikiran saya.

Tak lama saya menyadari kalo berdiam diri di depan laptop doing nothing setiap hari itu salah. Kenapa saya tidak memeluk istri saya sambil berkata semua akan baik-baik saja? Saya malu pada diri sendiri. Betapa egoisnya saya. Bukankah istri saya juga sedang bersedih? Kenapa dia lebih tegar dari saya?  Buru-buru saya minta maaf ke istri saya dan memberikan pengertian kalo rasa kecewa ini yang membuat mood saya berubah, bukan karena menyesali perkawinan. Syukurlah istri saya mengerti.

 

Satu tahun berlalu. Bayi tabung ketiga? Hmmm…  Kita berdua masih trauma, masih takut kalo embrio kita hasilnya mirip dengan program pertama dan kedua. Tapi saya memberikan semangat ke istri saya supaya kita harus terus berjuang untuk mendapatkan anak. Pantang menyerah! Clock’s ticking. Semakin tinggi usia maka kemungkinan hamil akan semakin menurun persentasenya.

Tahun 2012 kita memberanikan diri untuk melakukan bayi tabung ketiga di klinik yang sama dengan program pertama dan kedua, hanya dokternya yang berbeda. Saat itu usia istri 32 tahun dan saya 37 tahun.

Hasil embrio program bayi tabung ketiga pun tiba. Berbeda dengan program pertama dan kedua yang masih mempunyai grade moderate.

 

Kali ini kesepuluh embrio gradingnya poor semua.

 

 

Bayi tabung (IVF) kedua?

5

 

Tunggu dulu.

Dokter tidak menyarankan untuk melakukan bayi tabung kedua. Sebelumnya ia ingin mengecek keadaan rahim istri untuk memeriksa apakah ada endometriosis. Keadaan ini  diduga salah satu penyebab gagalnya proses kehamilan. Ternyata ada, namun ringan, tidak parah. Ia menyarankan tindakan laparoskopi untuk membersihkan endometriosis. Kita mengiyakan.

99b16e68-58ee-4f70-82ee-743d6f05fb04_laparoskopi-nedir.png

Setelah dilakukan tindakan laparoskopi di kamar operasi, istri dianjurkan untuk istirahat beberapa bulan.

Menyerah? Belum. Setelah istirahat, kita melakukan IVF kedua di penghujung tahun 2011.

 

Berhasil? Tidak.

 

Gagal lagi.

 

 

 

 

 

 

Memulai IVF pertama : Gagal

4

 

Setelah gagal inseminasi kedua dan pemakaian obat tanpa hasil, kita istirahat berobat dulu sambil memikirkan rencana selanjutnya. Saya  melakukan sedikit research. Kali ini saya mengumpulkan informasi mengenai bayi tabung.  Di tahun 2011, bertepatan dengan usia pernikahan kami yang ke-6, kami pun mencoba program ini atau istilah kedokterannya : IVF (In Vitro Fertilisation) di sebuah klinik di Jakarta Pusat. 

Saat bertemu dokternya, kita langsung merasa nyaman karena sangat komunikatif. Ia lalu menceritakan prosedur bayi tabung yang akan kita jalani, yakni sel telur istri akan diambil setelah diberi obat-obatan untuk menstimulasi sel telur. Lalu sel telur akan dipertemukan dengan sel sperma suami di laboratorium. Setelah terjadi pembuahan dan terbentuk embrio, maka embrio dikembangkan selama 3 hari di laboratorium. Di hari ke-3, embrio ini akan dimasukkan ke rahim istri kamu. Embrio pun dilakukan grading : Excellent, good, moderate dan poor. Masalah grading ini nanti akan diterangkan oleh embriologis, namun sepertinya semakin bagus grading, maka chance hamilnya akan semakin baik.

Menurut dokter kami, kualitas embrio excellent, good, moderate dapat dimasukkan di rahim istri atau istilahnya embrio transfer. Setelah itu? Berdoa semoga embrio kalian itu dapat menempel di rahim istri dan embrionya berkembang menjadi janin. Kalo tidak nempel? Ya sudah, gagal. Seperti bayi tabung pertama kami. Dari 10 embrio yang dihasilkan, gradingnya moderate dan poor semua. Saat mendengar hasilnya saja saya tau ini kurang baik. Kenapa embrio kami grade-nya kurang baik? Tidak tau. Padahal harapan saya embrio kami ada yang excellent atau good. Namun, nothing to lose, dokter menyarankan kalo dua embrio dengan kualitas moderate dapat dimasukkan ke rahim istri. Siapa tau jadi.

Dua minggu setelah embrio transfer,  istri melakukan test kehamilan seperti test darah (Beta hCG) dan test urin di rumah sakit. Hasilnya? Gagal. Negatif. Sedihnya bukan main, melebihi sedih saat gagal inseminasi. Mungkin karena ekspektasi saya terlalu tinggi. Saya menganggap kalo sudah bayar mahal, sudah pasti berhasil. IVF ini prosedurnya cukup ribet dan biayanya mahal tak bergaransi. Khayalan saya selama dua minggu setelah embrio transfer, sudah dipenuhi dengan harapan besar mempunyai anak. Saya lupa kalo program bayi tabung ini bukan kayak beli barang kesukaan kita yang pasti dapat dimiliki kalo udah bayar. Mahal pula. Saya lupa kalo angka keberhasilan bayi tabung itu tidaklah besar, apalagi jika pasangan sudah menjelang 35-40 thn. 

Beberapa hari setelah dinyatakan negatif, istri pun haid. Mengetahui istri haid, rasanya seperti membuka luka yang baru mau sembuh. Kita berdua sedih sekali saat itu. Apalagi setelah tau kenalan yang bareng ikutan program, bayi tabungnya berhasil. “Kenapa sih kita?” tanyaku ke istri yang sedang termangu sedih.

Seiring waktu, akhirnya kami bisa menaklukkan kesedihan itu dan bersiap untuk mencoba bayi tabung kedua di tahun yang sama.